Senin, 24 Juni 2013

Rendahnya Kualitas Sarana Fisik Pendidikan di Indonesia





Kualitas sarana fisik pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata sempurna. Banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Rendahnya kualitas sarana fisik tentu mengakibatkan tidak efektifnya proses belajar-mengajar. Berikut ini adalah artikel yang dikutip dari sebuah situs tentang buruknya sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia ini.
JAKARTA - Kondisi sarana dan prasarana pendidikan dasar di Indonesia hingga saat ini masih memprihatinkan. Sekolah rusak di jenjang SD dan SMP masih menjadi persoalan yang belum juga terpecahkan.
Padahal, pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, perbaikan semua sekolah rusak ditargetkan selesai tahun 2008. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah bakal mengurangi proyek pembangunan yang lain dan meningkatkan pendapatan negara demi membereskan banyaknya siswa yang telantar belajar gara-gara ruang kelas yang ambruk.
Namun,dari paparan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, pekan lalu terungkap sekolah rusak masih jadi pekerjaan rumah pemerintah yang tak kunjung beres.
Sekitar 20,97 persen ruang kelas SD rusak, sementara di SMP sekitar 20,06 persen. Ruang kelas SD yang rusak berjumlah 895.761 unit dan yang rusak ada 187.855 ruang kelas. Di SMP ruang kelas yang rusak mencapai 39.554 dari total 192.029 ruang kelas.
Dana yang dibutuhkan untuk merehabilitasi ruang kelas yang rusak berkisar Rp 17,36 triliun. Namun, dana alokasi khusus (DAK) tahun ini hanya sekitar Rp 10 triliun. Alokasi DAK juga tak bisa digunakan untuk merehabilitasi ruang kelas.
Pemerintah daerah penerima DAK mesti juga memakainya untuk membangun perpustakaan serta pengadaan sarana peningkatan mutu. "Untuk daerah yang terkena bencana alam yang mengakibatkan banyak sekolah rusak, bisa saja DAK dipakai semua untuk merehabilitasi sekolah," kata Nuh.
Persoalan ruang kelas yang rusak di lapangan menimbulkan penderitaan bagi siswa dan guru. Meskipun pengajuan rehabilitasi kelas rusak sudah lama diajukan sekolah, realisasinya tidak mudah dengan alasan anggaran daerah dan pusat terbatas. (Dikutip dari: www.kompas.com)
            Dalam artikel tersebut terlihat jelas bahwa penanganan pendidikan di Indonesia masih di nomor sekiankan. Sarana dan prasarana pendidikan dibiarkan rusak selama bertahun-tahun. Ini sangat mengganggu aktivitas belajar-mengajar. Perhatian pemerintah terhadap pendidikan masih sangat buruk. Pemerintah terlihat kurang peduli terhadap perbaikan sarana pendidikan di Indonesia. Padahal setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Mereka berhak mendapatkan fasilitas pendidikan yang sama. Pemerintah tidak boleh menutup mata. Masalah buruknya sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia ini bagaikan benang kusut. Pemerintah tidak boleh lupa diri dalam mengayomi setiap warga Negara khususnya generasi muda untuk mendapatkan pendidikan terbaik di Negaranya sendiri.
            Meskipun jumlah anggaran pemerintah untuk pendidikan cukup tinggi, namun hasilnya tidak nampak. Pengalokasian dana untuk pendidikan tidak sepenuhnya dijalankan. Jika pengalokasian dana dilakukan dengan benar tentunya tidak aka nada pemandangan buruk dan rasa prihatin melihat sarana belajar-mengajar minim akan fasilitas. Lagi-lagi hal ini kita sangkut pautkan dengan masalah korupsi. Karena memang sudah menjadi rahasia umum bahwa penyakit korupsi bisa menyerang siapa saja. Tidak hanya golongan atas, golongan menengah sampai rakyat biasa pun bisa terserang virus korupsi.
            Bantuan dana yang diberikan oleh pemerintah kepada para peserta didik tidak sepenuhnya diberikan oleh para perantara kepada peserta didik dengan jumlah yang utuh. Banyak alasan-alasan tertentu para perantara dalam melakukan praktiknya. Dalam hal ini perantara bisa saja dari pihak sekolah atau pihak lain. Sungguh ironis memang, dana untuk pendidikan pun masih menjadi ladang korupsi.
            Mungkin pemerintah kurang sadar akan pentingnya pendidikan bagi bangsa ini. Atau mungkin pemerintah disibukan oleh proses pembangunan gedung-gedung bercakar langit tiada henti. Sebagai bangsa Indonesia, saya sangat prihatin dengan keadaan ini. Di era yang serba maju ini, masih saja sulit mendapatkan pendidikan. Kalaupun mudah, tidak jarang dijumpai sekolah-sekolah dengan fasilitas yang minimum. Dapat disimpulakn bahwa saat ini memang pendidikan di nomor sekiankan. Sungguh memprihatinkan. Semoga pemerintah dapat dibukakan matanya dan lebih memperhatikan kondisi sarana dan prasarana pendidikan di Negara ini.

1 komentar :