Malam ini bulan purnama keluar menampakkan diri. Membuat langit
lebih terisi. Tidak kosong seperti hati ini. Aku pandangi bulan purnama
ditemani secarik kertas dan pena. Aku mulai menuliskan kata demi kata diatas
secarik kertas. Bukan kisah dongeng atau sebuah karangan yang akan aku
tuliskan. Ini celotehan dari hati.
Aku teringat sosokmu dalam memori masa lalu. Masa lalu? Sebut
saja begitu walau rasanya baru hitungan hari bumi ini berputar dari masa itu.
Hati ini masih berbalut kecewa yang berakhir luka. Iya, luka
yang pernah kamu buat disini, di hati ini. Luka ini cukup lebam. Luar biasa
sakitnya. Tapi anehnya rasa sakit ini tidak membuatku jera. Luka ini tidak
sanggup mengikiskan cinta untuk kamu. Aku sudah mencoba menyingkirkannya. Aku
sudah berlari ke tengah lautan dan menghanyutkannya disitu. Tapi ia tetap
mengalir mengikuti langkahku sampai ke tepian. Aku pernah menerbangkannya
bersama angin. Tapi angin kembali membawanya pulang ke hadapanku. Seakan tidak
mau jauh dari ragaku. Begitu kira-kira perumpamaannya.
Aku memandang ke atas langit. Bulan purnama itu mengingatkan
aku kepadamu. Aku teringat dengan kalimatmu tempo dulu.
“Lihatlah bulan yang sama agar kita merasa dekat”, begitu katamu.
Untuk kesekian kalinya, malam ini aku melakukan hal itu lagi.
Setidaknya dengan memandangi bulan bisa mengurangi rasa rindu yang tertumpuk
kepadamu. Malam ini aku berharap kamu disudut sana sedang memandangi bulan yang
sama. Lagi-lagi kenangan masa lalu itu meracuni otakku. Apakah pikiranmu juga
dirasuki oleh kenangan masa lalu? Sangat mudah mengingatnya. Tapi tidak untuk
melupakannya.
Suara angin malam terdengar. Aku menyudahkan diri
membayangkan masa lalu. Tidak ingin terlarut oleh kenangan yang membangkitkan
luka.
Aku lipat secarik kertas celotehan hati. Aku terbangkan
bersama hembusan angin. Entahlah kemanapun angin menerbangkan kertas ini,
setidaknya aku sudah lebih lega mencurahkan celotehan malam ini dalam
beberapa paragraf. Kepada penghuni semesta, aku titipkan celotehan hati.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar