Selasa, 02 Juli 2013

Mengapa kasus korupsi sulit diberantas di Indonesia?


Mendengar kata korupsi, apa yang muncul dalam benak kalian? Bosankah? Masyarakat di Indonesia dari mulai golongan bawah, golongan atas, hingga petinggi Negara sudah tidak asing dengan masalah yang satu ini. Hampir setiap hari kita disuguhkan dengan pemberitaan tentang korupsi.
Sejak masa reformasi, kasus korupsi di Indonesia memang kian marak. Namun satu persatu kasus tersebut berhasil diungkap ke media massa. Dari mulai ratusan juta, milyaran, hingga trilyunan uang Negara berhasil mereka kuasai. Mereka tak ubahnya seekor tikus pengerat yang terus menggerogoti asset-aset milik Negara sendiri. Mereka tak lain adalah pencuri di rumah mereka sendiri.
Di Indonesia, kasus korupsi menjadi rantai berkepanjangan yang tiada usai. Badan pemberantas korupsi telah dibentuk, namun tetap saja korupsi masih melalang buana di Negara ini. Bicara soal pemberantasan korupsi, di Indonesia sendiri penanganan terhadap kasus korupsi  telah berjalan cukup lama namun hasil yang diperoleh belum dapat dikatakan memuaskan. Mengapa demikian? Karena semakin kesini, kasus korupsi semakin melebar saja.
Rata-rata dari sekian banyaknya kasus korupsi yang diadili di negeri ini tidaklah sesuai dengan hati nurani rayat. Maka bukanlah sebuah heran jika kasus korupsi berlarut-larut tanpa titik temu dan lambat laun akan menghilang begitu saja dari buah pembicaraan. Kalaupun kasus tersebut dibawa hingga pengadilan, hukumannya pun sangat tidak sesuai. Hal demikian sangat berbanding terbalik dengan penegakan hukum dalam kasus-kasus selain korupsi di negeri ini.
Contoh nyatanya dapat kita lihat dari bagaimana sikap para penegak hukum menyelesaikan kasus-kasus yang dapat kita golongkan sebagai kasus ringan atau sedang. Mereka terlihat sangat tegas dalam menegakkan hukuman bagi para pelakunya. Namun sangat disayangkan ketegasan mereka tidak berlaku dalam penanganan kasus korupsi yang menjamur di negeri ini. Penanganan terhadap kasus korupsi dinilai sangat lamban dan bertele-tele.
Dalam tulisan saya yang berjudul “Wajah Hukum di Indonesia” telah dijabarkan betapa bobroknya keadilan di negeri ini. Mencari keadilan di negeri ini bagikan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Diskriminasi dalam penegakan keadilan di Indonesia ini tak terelakan lagi. Lagi-lagi ketidak berpihakan keadilan pada rakyat sangat menyayat hati.
Di kepala kita pasti muncul segelintir pertanyaan tentang kasus korupsi di negeri ini yang bisa dikatakan tidak ada ujungnya. Sebenarnya korupsi itu di negeri ini sulit diberantas karena adanya beberapa factor dibawah ini:
1. Korupsi dipandang sebagai suatu kebiasaan
Faktor yang pertama yaitu pada umumnya masyarakat memandang korupsi sebagai suatu kebiasaan. Mengapa demikian? Semua golongan dari mulai golongan bawah, golongan atas, hingga pejabat-pejabat tinggi Negara terlibat dalam kasus korupsi. Korupsi sebenarnya bukan hanya diartikan sebagai pencurian atas yang bukan hak nya dengan nilai besar atau dalam artian ratusan, milyaran, atau trilyunan rupiah. Sadar atau tidak, korupsi juga sering dilakukan oleh rakyat biasa yang notabennya bukanlah regulator Negara.
Virus korupsi kian bertumbuh dengan pesat di Negara ini. Siapapun dengan latar belakang apa pun di Negara ini terjangkiti virus korupsi. Perkembangan virus korupsi di Indonesia ditukarkan melalui generasi ke generasi. Tak ayalnya semakin kesini pun semakin banyak generasi penerus para koruptor.
Sebenarnya penyakit korupsi dapat kita cegah agar tidak menjangkiti bangsa ini lebih banyak lagi. Salah satunya adalah dengan menanamkan mental anti korupsi kepada para generasi muda. Dalam agama apapun korupsi tidaklah dibenarkan. Dimana-mana yang namanya mengambil hak orang lain hukumnya adalah haram. Mungkin menurut saya, para generasi muda perlu dibekali mata pelajaran khusus anti korupsi. Karena dengan begitu, para generasi muda lebih menjaga diri dari perilaku korupsi. Korupsi dapat dicegah dengan menjaga kebersihan pikiran generasi muda kita dari wabah korupsi.
2. Lemahnya sistem penegakan hukum di negeri ini
            Sistem penegakan hukum di Indonesia memang lemah, terutama dalam penanganan masalah korupsi. Sudah menjadi hal yang biasa jika masalah korupsi di negeri ini dibiarkan berlarut-larut tanpa penanganan yang pasti. Meskipun Negara ini memiliki undang-undang sebagai landasan hukum, kasus korupsi tetap saja menjadi hal yang tidak pernah habis di bahas di negeri ini. Lantas saja jika para koruptor di negeri ini masih terus tumbuh jika hukuman yang mereka diterima sungguhlah ringan. Tentu bukan sebuah heran bagi kita jika penjara bagi para koruptor pun kondisinya jauh berbeda dengan penjara pada umunya. Bagaimana para koruptor bisa jera menggerogoti uang Negara jika di penjara saja dapat menikmati berbagai fasilitas bagaikan di hotel berbintang lima? Sungguh nyaman sekali, bukan?
            Saya melihat hal ini sebagai salah satu bentuk ketidakadilan hukum. Memang benar jika dikatakan di Negara ini hukum hanya berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan tinggi, bagi yang tidak jangan harap dapat mencicipi bagaimana rasanya mendapatkan keadilan di Negara sendiri.
            Lambannya penanganan kasus korupsi lagi-lagi karena sedeang maraknya wabah korupsi di negeri ini. Bahkan tak jarang para penegak hukum yang ditugaskan untuk mengadili kasus korupsi pun menerima uang suap dari para koruptor. Lantas saja jika kasus korupsi di Indonesia sulit untuk diberantas. Ini namanya koruptor diadili oleh koruptor. Bagaimana mungkin para mafia hukum memberikan hukuman bagi para koruptor jika mereka sendiri adalah bagian dari manusia yang disebut sebagai koruptor.

            Dua faktor diatas lah yang merupakan alasan mengapa kasus korupsi di negeri ini sulit diberantas. Mestinya sebagai wakil rakyat, para petinggi Negara seharusnya dapat mengemban tugas mereka dengan baik bukan malah menusuk dari belakang. Pesan saya sebagai generasi muda, sebaiknya kita tumbuhkan mental anti korupsi dalam diri kita. Jangan sampai terjerembab dalam kasus korupsi. Berperilaku korupsi sama saja tidak mempunyai harga diri. 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar